UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39
TAHUN 2014 TENTANG PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Negara Republik Indonesia
merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dimanfaatkan dan dipergunakan bagi
sebesar- besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa perkebunan
berperan penting dan memiliki potensi besar dalam pembangunan perekonomian
nasional dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara
berkeadilan;
c. bahwa penyelenggaraan
perkebunan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat,
belum mampu memberikan hasil yang optimal, serta belum mampu meningkatkan nilai
tambah usaha perkebunan nasional, sehingga perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Perkebunan.
Mengingat:
Pasal 20, Pasal 20A ayat
(1), Pasal 21, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERKEBUNAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Undang-Undang
ini yang dimaksud dengan:
1. Perkebunan adalah segala
kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi,
alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait Tanaman
Perkebunan.
2. Tanaman Perkebunan
adalah tanaman semusim atau tanaman tahunan yang jenis dan tujuan
pengelolaannya ditetapkan untuk usaha Perkebunan.
3. Usaha Perkebunan adalah
usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa Perkebunan.
4. Tanah adalah permukaan
bumi, baik yang berupa daratan maupun yang tertutup air dalam batas tertentu
sepanjang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung dengan permukaan bumi,
termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi.
5. Hak Ulayat adalah
kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan
Tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada di wilayah masyarakat hukum adat
yang bersangkutan yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencahariannya.
6. Masyarakat Hukum Adat
adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal
usul leluhur, hubungan yang kuat dengan Tanah, wilayah, sumber daya alam yang
memiliki pranata pemerintahan adat dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya.
7. Lahan Perkebunan adalah
bidang Tanah yang digunakan untuk Usaha Perkebunan.
8. Pelaku Usaha Perkebunan
adalah pekebun dan/atau perusahaan Perkebunan yang mengelola Usaha Perkebunan.
9. Pekebun adalah orang
perseorangan warga negara Indonesia yang melakukan Usaha Perkebunan dengan
skala usaha tidak mencapai skala tertentu.
10. Perusahaan Perkebunan
adalah badan usaha yang berbadan hukum, didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di wilayah Indonesia, yang mengelola Usaha Perkebunan dengan skala
tertentu.
11. Hasil Perkebunan adalah
semua produk Tanaman Perkebunan dan pengolahannya yang terdiri atas produk
utama, produk olahan untuk memperpanjang daya simpan, produk sampingan, dan
produk ikutan.
12. Pengolahan Hasil
Perkebunan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan terhadap hasil Tanaman
Perkebunan untuk memenuhi standar mutu produk, memperpanjang daya simpan,
mengurangi kehilangan dan/atau kerusakan, dan memperoleh basil optimal untuk
mencapai nilai tambah yang lebih tinggi.
13. Pemerintah Pusat adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik
Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
14. Pemerintah Daerah
adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang
memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
15. Setiap Orang adalah
orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.
16. Menteri adalah menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perkebunan.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN
Pasal 2
Perkebunan diselenggarakan
berdasarkan asas:
a. kedaulatan;
b. kemandirian;
c. kebermanfaatan;
d. keberlanjutan
e. keterpaduan;
f. kebersamaan;
g. keterbukaan;
h. efisiensi-berkeadilan;
i. kearifan lokal; dan
j. kelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Pasal 3
Penyelenggaraan Perkebunan
bertujuan untuk:
a. meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;
b. meningkatkan sumber
devisa negara;
c. menyediakan lapangan
kerja dan kesempatan usaha;
d. meningkatkan produksi,
produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing, dan pangsa pasar;
e. meningkatkan dan
memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri;
f. memberikan pelindungan
kepada Pelaku Usaha Perkebunan dan masyarakat;
g. mengelola dan
mengembangkan sumber daya Perkebunan secara optimal, bertanggung jawab, dan
lestari; dan
h. meningkatkan pemanfaatan
jasa Perkebunan.
Pasal 4
Lingkup pengaturan
Perkebunan meliputi:
a. perencanaan;
b. penggunaan lahan;
c. perbenihan;
d. budi daya Tanaman
Perkebunan;
e. Usaha Perkebunan;
f. pengolahan dan pemasaran
Hasil Perkebunan;
g. penelitian dan
pengembangan;
h. sistem data dan
informasi;
i. pengembangan sumber daya
manusia;
j. pembiayaan Usaha Perkebunan;
k. penanaman modal;
l. pembinaan dan
pengawasan; dan
m. peran serta masyarakat.
BAB III PERENCANAAN
Pasal 5
(1)
Perencanaan Perkebunan
dimaksudkan memberikan arah, pedoman, dan alat pengendali pencapaian tujuan
penyelenggaraan Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Perencanaan Perkebunan
terdiri atas perencanaan nasional, perencanaan provinsi, dan perencanaan
kabupaten/kota.
(3) Perencanaan Perkebunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan Pelaku Usaha Perkebunan
dan peran serta masyarakat.
Pasal 6
(1) Perencanaan Perkebunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan berdasarkan:
a. rencana pembangunan
nasional;
b. rencana tata ruang
wilayah;
c. kesesuaian Tanah dan
iklim serta ketersediaan lahan untuk Usaha Perkebunan;
d. daya dukung dan daya
tampung lingkungan;
e. kinerja pembangunan
Perkebunan;
f. perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
g. kondisi ekonomi dan
sosial budaya;
h. kondisi pasar dan
tuntutan globalisasi; dan
i. aspirasi daerah dengan
tetap menjunjung keutuhan bangsa dan negara.
(2) Perencanaan Perkebunan
mencakup:
a. wilayah;
b. Tanaman Perkebunan;
c. sumber daya manusia;
d. kelembagaan;
e. kawasan Perkebunan;
f. keterkaitan dan
keterpaduan hulu-hilir;
g. sarana dan prasarana;
h. pembiayaan;
i. penanaman modal; dan
j. penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 7
(1) Perencanaan Perkebunan
merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional, perencanaan
pembangunan daerah, dan perencanaan pembangunan sektoral.
(2) Perencanaan Perkebunan
ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka
menengah, dan rencana tahunan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 8
(1) Perencanaan Perkebunan
nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilakukan dengan
memperhatikan rencana pembangunan nasional serta kebutuhan dan usulan provinsi.
(2) Perencanaan Perkebunan
provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilakukan dengan
memperhatikan rencana pembangunan nasional dan provinsi serta kebutuhan dan
usulan kabupaten/kota.
(3) Perencanaan Perkebunan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilakukan dengan
memperhatikan rencana pembangunan provinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 9
(1) Perencanaan Perkebunan
diwujudkan dalam bentuk rencana Perkebunan. (2) Rencana Perkebunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. rencana Perkebunan
nasional disusun oleh Menteri;
b. rencana Perkebunan
provinsi disusun oleh gubernur; dan
c. rencana Perkebunan
kabupaten / kota disusun oleh bupati/wali kota.
Pasal 10
(1) Rencana Perkebunan
nasional menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan Perkebunan provinsi.
(2) Rencana Perkebunan
provinsi menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan Perkebunan kabupaten/kota.
(3) Rencana Perkebunan
nasional, rencana Perkebunan provinsi, dan rencana Perkebunan kabupaten/kota
menjadi pedoman bagi Pelaku Usaha Perkebunan dalam pengembangan Perkebunan.
BAB IV
PENGGUNAAN LAHAN
Pasal 11
(1) Pelaku Usaha Perkebunan
dapat diberi hak atas tanah untuk Usaha Perkebunan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal terjadi
perubahan status kawasan hutan negara atau Tanah terlantar, Pemerintah Pusat
dapat mengalihkan status alas hak kepada Pekebun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
(1)
Dalam hal Tanah yang diperlukan
untuk Usaha Perkebunan merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pelaku
Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat
pemegang Hak Ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan Tanah dan
imbalannya. (2) Musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
Masyarakat Hukum Adat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
(1) Pemerintah Pusat
menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha
Perkebunan.
(2) Penetapan batasan luas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:
a. jenis tanaman;
b. ketersediaan lahan yang
sesuai secara agroklimat;
c. modal;
d. kapasitas pabrik;
e. tingkat kepadatan
penduduk;
f. pola pengembangan usaha;
g. kondisi geografis;
h. perkembangan teknologi;
dan
i. pemanfaatan lahan
berdasarkan fungsi ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di
bidang tata ruang.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai penetapan batasan luas diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
Perusahaan Perkebunan
dilarang memindahkan hak atas tanah Usaha Perkebunan yang mengakibatkan
terjadinya satuan usaha yang kurang dari luas minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14.
Pasal 16
(1) Perusahaan Perkebunan
wajib mengusahakan Lahan Perkebunan:
a. paling lambat 3 (tiga)
tahun setelah pemberian status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan wajib
mengusahakan Lahan Perkebunan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari
luas hak atas tanah; dan
b. paling lambat 6 (enam)
tahun setelah pemberian status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan wajib
mengusahakan seluruh luas hak atas tanah yang secara teknis dapat ditanami
Tanaman Perkebunan.
(2) Jika Lahan Perkebunan
tidak diusahakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bidang Tanah Perkebunan yang belum diusahakan diambil alih oleh negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
Pasal 17
(1) Pejabat yang berwenang
dilarang menerbitkan izin Usaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat.
(2) Ketentuan larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal telah dicapai
persetujuan antara Masyarakat Hukum Adat dan Pelaku Usaha Perkebunan mengenai
penyerahan Tanah dan imbalannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
Pasal 18
(1) Perusahaan Perkebunan
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16
dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. denda;
b. penghentian sementara
dari kegiatan usaha; dan/atau
c. pencabutan izin Usaha
Perkebunan.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB V
PERBENIHAN
Pasal 19
Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melindungi,
memperkaya, memanfaatkan, mengembangkan, dan melestarikan sumber daya genetik
Tanaman Perkebunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
(1) Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan inventarisasi,
pendaftaran, pendokumentasian, dan pemeliharaan terhadap sumber daya genetik
Tanaman Perkebunan.
(2) Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat bekerja sama dengan Pelaku Usaha Perkebunan dan/atau masyarakat.
(3) Data dokumentasi sumber
daya genetik Tanaman Perkebunan terbuka bagi Pelaku Usaha Perkebunan dan/atau
masyarakat untuk dimanfaatkan dan dikembangkan.
(4) Keterbukaan data
dokumentasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak termasuk yang dikecualikan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
(1) Pemanfaatan sumber daya
genetik Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dilakukan secara
berkelanjutan.
(2) Menteri menetapkan sumber
daya genetik Tanaman Perkebunan yang terancam punah dengan mempertimbangkan
sifat, jumlah, dan sebarannya. (3) Pemanfaatan sumber daya genetik yang
terancam punah dilakukan dengan izin Menteri.
Pasal 22
(1) Pemerintah Pusat
memfasilitasi pengayaan sumber daya genetik Tanaman Perkebunan melalui berbagai
metode dan introduksi.
(2) Pemerintah Pusat
memberikan kemudahan perizinan dan penggunaan fasilitas penelitian milik
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk
pengayaan sumber daya genetik Tanaman Perkebunan.
Pasal 23
(1) Setiap Orang dilarang
mengeluarkan sumber daya genetik Tanaman Perkebunan yang terancam punah
dan/atau yang dapat merugikan kepentingan nasional dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai sumber daya genetik Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 24
(1) Pemerintah Pusat
menetapkan jenis benih Tanaman Perkebunan yang pengeluaran dari dan/atau
pemasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memerlukan
izin.
(2) Pengeluaran benih dari
dan/ atau pemasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
wajib mendapatkan izin Menteri.
(3) Pemasukan benih dari
luar negeri harus memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal.
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai standar mutu atau persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud pada
ayat
(3) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 25
Introduksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 dan pelarangan pengeluaran sumber daya genetik Tanaman
Perkebunan yang terancam punah dan/atau yang dapat merugikan kepentingan
nasional dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
Perolehan benih bermutu
untuk pengembangan budi daya Tanaman Perkebunan dilakukan melalui kegiatan
penemuan varietas unggul dan/atau introduksi dari luar negeri.
Pasal 27
(1) Penemuan varietas
unggul dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman.
(2) Pencarian dan
pengumpulan sumber daya genetik dalam rangka pemuliaan tanaman dilakukan oleh
Pemerintah Pusat.
(3) Kegiatan pencarian dan
pengumpulan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan oleh orang perseorangan atau badan hukum berdasarkan izin Menteri.
(4) Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pelestarian sumber daya
genetik bersama masyarakat.
(5) Ketentuan mengenai tata
cara pencarian, pengumpulan, dan pelestarian sumber daya genetik diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Introduksi dari luar
negeri dilakukan dalam bentuk benih atau materi induk untuk pemuliaan tanaman.
(2) Introduksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya, atau Pelaku Usaha Perkebunan.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai introduksi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, atau Pelaku Usaha Perkebunan
dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul.
Pasal 30
(1) Varietas hasil
pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu
harus dilepas oleh Pemerintah Pusat atau diluncurkan oleh pemilik varietas.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai syarat-syarat dan tata cara pelepasan atau peluncuran diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 31
(1)
Varietas yang telah dilepas atau
diluncurkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (I) dapat diproduksi dan
diedarkan.
(2) Varietas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sebelum diedarkan harus dilakukan sertifikasi dan diberi label.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai produksi, sertifikasi, pelabelan, dan peredaran diatur dengan
Peraturan Menteri.
BAB VI
BUDI DAYA TANAMAN PERKEBUNAN
Bagian Kesatu Pembukaan dan Pengolahan Lahan
Pasal 32
(1) Setiap Orang yang
membuka dan mengolah lahan dalam luasan tertentu untuk keperluan budi daya
Tanaman Perkebunan wajib mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya
kerusakan lingkungan hidup.
(2) Setiap Orang yang
menggunakan media tumbuh Tanaman Perkebunan untuk keperluan budi daya Tanaman
Perkebunan wajib mengikuti tata cara yang dapat mencegah timbulnya pencemaran
lingkungan hidup.
(3) Ketentuan mengenai tata
cara mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran lingkungan
hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Pelindungan Tanaman
Perkebunan
Pasal 33
(1) Pelindungan Tanaman
Perkebunan dilakukan melalui pemantauan, pengamatan, dan pengendalian organisme
pengganggu tumbuhan.
(2) Pelaksanaan pelindungan
Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab
Pelaku Usaha Perkebunan, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, dan
Pemerintah Pusat.
Pasal 34
Setiap Pelaku Usaha
Perkebunan yang memiliki atau menguasai Tanaman Perkebunan harus melaporkan
adanya serangan organisme pengganggu tumbuhan pada tanamannya kepada pejabat
yang berwenang dan yang bersangkutan harus mengendalikannya.
Pasal 35
(1) Dalam rangka
pengendalian organisme pengganggu tumbuhan, setiap Pelaku Usaha Perkebunan
berkewajiban memiliki standar minimum sarana dan prasarana pengendalian
organisme pengganggu Tanaman Perkebunan.
(2) Ketentuan mengenai
standar minimum sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 36
Pelindungan Tanaman
Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pencegahan masuknya
organisme pengganggu tumbuhan ke dalam dan tersebarnya dari suatu area ke area
lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
b. eradikasi organisme
pengganggu tumbuhan.
Pasal 37
(1) Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan atau
memerintahkan dilakukannya eradikasi terhadap tanaman dan/atau benda lain yang
menyebabkan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan.
(2) Eradikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan apabila organisme pengganggu tumbuhan
tersebut dianggap sangat berbahaya dan mengancam keselamatan tanaman secara
meluas.
Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelindungan Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
sampai dengan Pasal 37 diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VII
USAHA PERKEBUNAN
Bagian Kesatu Pelaku Usaha Perkebunan
Pasal 39
(1) Usaha Perkebunan dapat
dilakukan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Pelaku
Usaha Perkebunan dalam negeri atau penanam modal asing
(2) Penanam modal asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. badan hukum asing; atau b.
perseorangan warga negara asing.
(3) Penanam modal asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang melakukan Usaha Perkebunan harus
bekerja sama dengan Pelaku Usaha Perkebunan dalam negeri dengan membentuk badan
hukum Indonesia.
Pasal 40
(1) Pengalihan kepemilikan
Perusahaan Perkebunan kepada penanam modal asing dapat dilakukan setelah
memperoleh persetujuan Menteri.
(2) Menteri dalam
memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
kepentingan nasional. Bagian Kedua Jenis dan Perizinan Usaha Perkebunan
Pasal 41
(1) Jenis Usaha Perkebunan
terdiri atas usaha budi daya Tanaman Perkebunan, usaha Pengolahan Hasil
Perkebunan, dan usaha jasa Perkebunan.
(2) Usaha budi daya Tanaman
Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan serangkaian kegiatan
pratanam, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanenan, dan sortasi.
(3) Usaha Pengolahan Hasil
Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengolahan
yang bahan baku utamanya Hasil Perkebunan untuk memperoleh nilai tambah.
(4) Usaha jasa Perkebunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan untuk mendukung usaha
budi daya tanaman dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan.
Pasal 42
Kegiatan usaha budi daya
Tanaman Perkebunan dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan
Perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin Usaha
Perkebunan.
Pasal 43
Kegiatan usaha Pengolahan
Hasil Perkebunan dapat didirikan pada wilayah Perkebunan swadaya masyarakat
yang belum ada usaha Pengolahan Hasil Perkebunan setelah memperoleh hak atas
tanah dan izin Usaha Perkebunan.
Pasal 44
(1) Usaha budi daya Tanaman
Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dapat dilaksanakan
secara terintegrasi dengan unit pengolahan hasil Tanaman Perkebunan dan/atau
budi daya ternak.
(2) Usaha budi daya Tanaman
Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dapat dilaksanakan
diversifikasi berupa agrowisata dan/atau usaha lainnya.
(3) Integrasi usaha budi
daya Tanaman Perkebunan dengan budi daya ternak dan diversifikasi usaha harus
mengutamakan Tanaman Perkebunan sebagai usaha pokok. (4) Ketentuan mengenai
pelaksanaan integrasi dan diversifikasi usaha diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 45
(1) Untuk mendapatkan izin
Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 harus memenuhi
persyaratan:
a. izin lingkungan;
b. kesesuaian dengan
rencana tata ruang wilayah; dan
c. kesesuaian dengan
rencana Perkebunan.
(2) Selain persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. usaha budi daya
Perkebunan harus mempunyai sarana, prasarana, sistem, dan sarana pengendalian
organisme pengganggu tumbuhan; dan
b. usaha Pengolahan Hasil
Perkebunan harus memenuhi sekurang-kurangnya 20% (dua puluh perseratus) dari
keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan berasal dari kebun yang diusahakan
sendiri.
Pasal 46
Jenis Tanaman Perkebunan
pada usaha budi daya Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (1)ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 47
(1) Perusahaan Perkebunan
yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu
dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu
wajib memiliki izin Usaha Perkebunan.
(2) Izin Usaha Perkebunan
diberikan dengan mempertimbangkan:
a. jenis tanaman;
b. kesesuaian Tanah dan
agroklimat;
c. teknologi;
d. tenaga kerja; dan
e. modal.
Pasal 48
(1) Izin Usaha Perkebunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) diberikan oleh:
a. gubernur untuk wilayah
lintas kabupaten/kota; dan
b. bupati/wali kota untuk
wilayah dalam suatu kabupaten/kota.
(2) Dalam hal lahan Usaha
Perkebunan berada pada wilayah lintas provinsi, izin diberikan oleh Menteri.
(3) Perusahaan Perkebunan
yang telah mendapat izin Usaha Perkebunan wajib menyampaikan laporan
perkembangan usahanya secara berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali
kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Laporan perkembangan
usaha secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga disampaikan kepada
Menteri.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut
mengenai syarat dan tata cara pemberian izin Usaha Perkebunan, luasan lahan
tertentu untuk usaha budi daya Tanaman Perkebunan, dan kapasitas pabrik
tertentu untuk usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 sampai dengan Pasal 48 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 50
Menteri, gubernur, dan
bupati/wali kota yang berwenang menerbitkan izin Usaha Perkebunan dilarang:
a. menerbitkan izin yang
tidak sesuai peruntukkan; dan/ atau
b. menerbitkan izin yang
tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga
Pemberdayaan Usaha Perkebunan
Pasal 51
(1) Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban menyelenggarakan
pemberdayaan Usaha Perkebunan.
(2) Pemberdayaan Usaha
Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan melibatkan
masyarakat.
(3) Pemberdayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia Perkebunan;
b. memfasilitasi sumber
pembiayaan/permodalan;
c. menghindari pengenaan biaya
yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
d. memfasilitasi
pelaksanaan ekspor Hasil Perkebunan;
e. mengutamakan Hasil
Perkebunan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku
industri;
f. mengatur pemasukan dan
pengeluaran Hasil Perkebunan;
g. memfasilitasi
aksesibilitas ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi;
h. memfasilitasi akses
penyebaran informasi dan penggunaan benih unggul;
i. memfasilitasi penguatan
kelembagaan Pekebun; dan/atau
j. memfasilitasi jaringan
kemitraan antar Pelaku Usaha Perkebunan.
Pasal 52
Pemerintah Pusat
memfasilitasi terbentuknya dewan komoditas yang berfungsi sebagai wadah untuk
pengembangan komoditas Perkebunan strategis tertentu bagi seluruh pemangku
kepentingan Perkebunan.
Pasal 53
(1)
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mendorong terbentuknya
kelembagaan Pelaku Usaha Perkebunan. (2) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perlindungan dan pemberdayaan petani.
Pasal 54
Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memfasilitasi
pemberdayaan Pekebun, kelompok Pekebun, koperasi, serta asosiasi Pekebun untuk
mengembangkan Usaha Perkebunan.
Pasal 55
Setiap Orang secara tidak
sah dilarang:
a. mengerjakan,
menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan;
b. mengerjakan,
menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan;
c. melakukan penebangan
tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau
d. memanen dan/atau
memungut Hasil Perkebunan.
Pasal 56
(1) Setiap Pelaku Usaha
Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar.
(2) Setiap Pelaku Usaha
Perkebunan berkewajiban memiliki sistem, sarana, dan prasarana pengendalian
kebakaran lahan dan kebun.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pembukaan lahan tanpa membakar diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian
Keempat Kemitraan Usaha Perkebunan
Pasal 57
(1) Untuk pemberdayaan
Usaha Perkebunan, Perusahaan Perkebunan melakukan kemitraan Usaha Perkebunan
yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, serta
saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan Pekebun, karyawan, dan
masyarakat sekitar Perkebunan,
(2) Kemitraan Usaha
Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pola kerja sama:
a. penyediaan sarana
produksi;
b. produksi;
c. pengolahan dan
pemasaran;
d. kepemilikan saham; dan
jasa pendukung lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai kemitraan Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 58
(1) Perusahaan Perkebunan
yang memiliki izin Usaha Perkebunan atau izin Usaha Perkebunan untuk budi daya
wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas
20% (dua puluh perseratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh
Perusahaan Perkebunan.
(2) Fasilitasi pembangunan
kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui
pola kredit, bagi hasil, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Kewajiban memfasilitasi
pembangunan kebun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak hak guna usaha diberikan.
(4) Fasilitasi pembangunan
kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut
mengenai fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 60
(1) Perusahaan Perkebunan
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dikenai sanksi
administratif.
(2) Sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. denda;
b. pemberhentian sementara
dari kegiatan Usaha Perkebunan; dan/ atau
c. pencabutan izin Usaha
Perkebunan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata
cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Bagian Kelima Kawasan Pengembangan Perkebunan
Pasal 61
(1) Pengembangan Perkebunan
dilakukan secara terpadu dengan pendekatan kawasan pengembangan Perkebunan.
(2) Kawasan pengembangan
Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terintegrasi
antara lokasi budi daya Perkebunan, Pengolahan Hasil Perkebunan, pemasaran,
serta penelitian dan pengembangan sumber daya manusia.
(3) Kawasan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terhubung secara fungsional yang
membentuk kawasan pengembangan Perkebunan kabupaten/kota, provinsi, dan
nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai kawasan pengembangan Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Keenam Pengembangan Perkebunan
Berkelanjutan
Pasal 62
(1) Pengembangan Perkebunan
diselenggarakan secara berkelanjutan dengan memperhatikan aspek:
a. ekonomi;
b. sosial budaya; dan
c. ekologi.
(2) Pengembangan Perkebunan
berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi prinsip dan
kriteria pembangunan. Perkebunan berkelanjutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pengembangan Perkebunan berkelanjutan diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Bagian Ketujuh Pelindungan Wilayah Geografis yang Memproduksi Hasil
Perkebunan Spesifik
Pasal 63
(1) Pemerintah Pusat
melindungi kelestarian wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang
bersifat spesifik.
(2) Setiap Pelaku Usaha
Perkebunan dilarang mengalihfungsikan Lahan Perkebunan di dalam wilayah
geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik.
Pasal 64
(1) Pelaku Usaha Perkebunan
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dikenai
sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. denda;
b. pemberhentian sementara
dari kegiatan Usaha Perkebunan; dan / atau
c. pencabutan izin Usaha
Perkebunan.
Pasal 65
Selain dikenai sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, Pelaku Usaha Perkebunan yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) wajib
mengembalikan fungsi Lahan Perkebunan dalam wilayah geografis.
Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelindungan wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat
spesifik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Bagian Kedelapan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup
Pasal 67
(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan
wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Kewajiban memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Untuk memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebelum
memperoleh izin Usaha Perkebunan, Perusahaan Perkebunan harus:
a. membuat analisis
mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan
upaya pemantauan lingkungan hidup;
b. memiliki analisis dan
manajemen risiko bagi yang menggunakan hasil rekayasa genetik; dan
c. membuat pernyataan
kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat
yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran.
(4) Setiap Perusahaan
Perkebunan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditolak permohonan izin usahanya.
Pasal 68
Setelah memperoleh izin
usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3), Pelaku Usaha
Perkebunan wajib menerapkan:
a. analisis mengenai dampak
lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan
lingkungan hidup;
b. analisis risiko
lingkungan hidup; dan
c. pemantauan lingkungan
hidup.
Pasal 69
(1) Setiap Perusahaan Perkebunan
wajib membangun sarana dan prasarana di dalam kawasan Perkebunan.
(2) Sarana dan prasarana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar yang ditetapkan
Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan mengenai
sarana dan prasarana di dalam kawasan Perkebunan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 70
(1) Setiap Perusahaan
Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dikenai
sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. denda;
b. pemberhentian sementara
dari kegiatan Usaha Perkebunan; dan / atau
c. pencabutan izin usaha
perkebunan.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kesembilan
Harga Komoditas Perkebunan Pasal 71
(1) Pemerintah Pusat
berkewajiban menciptakan kondisi yang menghasilkan harga komoditas Perkebunan
yang menguntungkan bagi Pelaku Usaha Perkebunan.
(2) Kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. penetapan harga untuk
komoditas Perkebunan tertentu;
b. penetapan kebijakan
pajak dan/atau tarif;
c. pengaturan kelancaran
distribusi Hasil Perkebunan; dan/atau
d. penyebarluasan informasi
perkembangan harga komoditas Perkebunan. (3) Ketentuan mengenai kewajiban
menciptakan kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERKEBUNAN
Bagian Kesatu Pengolahan Hasil Perkebunan
Pasal 72
(1) Usaha Pengolahan Hasil
Perkebunan dilakukan untuk memperoleh nilai tambah.
(2) Usaha Pengolahan Hasil
Perkebunan dilakukan melalui kegiatan panen dan pascapanen yang baik.
(3) Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dalam rangka
pengembangan panen dan pascapanen Perkebunan.
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara kegiatan panen dan pascapanen yang baik diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 73
(1) Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dalam rangka
pengembangan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan.
(2) Usaha Pengolahan Basil
Perkebunan dilakukan di dalam kawasan pengembangan Perkebunan secara terpadu
dengan usaha budi daya Tanaman Perkebunan.
(3) Ketentuan mengenai
pembinaan dan keterpaduan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan usaha budi
daya Tanaman Perkebunan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 74
(1) Setiap unit Pengolahan
Hasil Perkebunan tertentu yang berbahan baku impor wajib membangun kebun dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah unit pengolahannya
beroperasi.
(2) Ketentuan mengenai
jenis Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 75
(1) Setiap Pelaku Usaha
Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat
(1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. denda;
b. pemberhentian sementara
dari kegiatan, produksi, dan/ atau peredaran hasil usaha industri;
c. ganti rugi; dan/atau
d. pencabutan izin usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai jenis, besaran denda, dan testa cara pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua
Pemasaran Hasil Perkebunan
Pasal 76
(1) Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memfasilitasi kerja sama antara
Pelaku Usaha Perkebunan, asosiasi pemasaran, asosiasi komoditas, dewan
komoditas, kelembagaan lainnya, dan/atau masyarakat.
(2) Kerja sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyelenggarakan informasi pasar,
promosi, dan menumbuhkembangkan pusat pemasaran komoditas Perkebunan, baik di
dalam maupun di luar negeri.
Pasal 77
Setiap Orang dalam
melakukan pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran Hasil Perkebunan dilarang:
a. memalsukan mutu dan/atau
kemasan Hasil Perkebunan;
b. menggunakan bahan
penolong dan/ atau bahan tambahan untuk pengolahan; dan/atau
c. mencampur Hasil Perkebunan
dengan benda atau bahan lain; yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan
manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat.
Pasal 78
Setiap Orang dilarang
menadah hasil Usaha Perkebunan yang diperoleh dari penjarahan dan/atau
pencurian.
Pasal 79
Setiap Pelaku Usaha
Perkebunan dilarang mengiklankan hasil Usaha Perkebunan yang menyesatkan
konsumen.
Pasal 80
Pemasaran Hasil Perkebunan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perdagangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
BAB IX
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 81
Penelitian dan pengembangan
Perkebunan dimaksudkan untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dibutuhkan dalam pengembangan Usaha Perkebunan agar memberikan nilai tambah,
berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan dengan menghargai kearifan lokal.
Pasal 82
(1) Penelitian dan
pengembangan Perkebunan dapat dilaksanakan oleh perseorangan, badan usaha,
perguruan tinggi, serta lembaga penelitian dan pengembangan Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2) Perseorangan, badan
usaha, perguruan tinggi, serta lembaga penelitian dan pengembangan Pemerintah
Pusat. dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan:
a. sesama pelaksana
penelitian dan pengembangan;
b. Pelaku Usaha Perkebunan;
c. asosiasi komoditas
Perkebunan;
d. organisasi profesi
terkait; dan/atau
e. lembaga penelitian dan
pengembangan Perkebunan asing.
(3) Kerja sama dengan
lembaga penelitian dan pengembangan Perkebunan asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf e dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri.
Pasal 83
(1) Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyediakan fasilitas untuk
mendukung penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Perkebunan.
(2) Penyediaan fasilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. perizinan penelitian;
b. kemudahan pemasukan
sarana dan prasarana penelitian dari luar negeri; dan
c. penggunaan sarana dan
prasarana penelitian dan luar negeri.
Pasal 84
Dalam mendukung penelitian
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Perkebunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 83, Pelaku Usaha Perkebunan menyediakan fasilitas berupa:
a. kemudahan perizinan
penelitian;
b. penggunaan sarana dan
prasarana Perkebunan untuk penelitian; dan
c. kemudahan akses data
yang tidak bersifat rahasia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 85
(1) Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mendorong pemangku kepentingan di
bidang Perkebunan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama melakukan
penelitian dan pengembangan teknologi Perkebunan.
(2) Perseorangan warga
negara asing dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan asing yang akan
melakukan penelitian dan pengembangan Perkebunan harus mendapatkan izin
terlebih dahulu dari instansi Pemerintah Pusat yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB X
SISTEM DATA DAN INFORMASI
Pasal 86
(1) Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban membangun,
menyusun, mengembangkan, dan menyediakan sistem data dan informasi Perkebunan
yang terintegrasi.
(2) Sistem data dan
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit digunakan untuk
keperluan:
a. perencanaan;
b. pemantauan dan evaluasi;
c. pengelolaan pasokan dan
permintaan produk Perkebunan; dan
d. pertimbangan penanaman
modal.
(3) Pengembangan dan
penyediaan sistem data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh unit kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang data dan
informasi Perkebunan.
(4) Data dan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit berupa:
a. letak dan luas wilayah,
kawasan, dan budi daya Perkebunan;
b. ketersediaan sarana dan
prasarana Perkebunan;
c. prakiraan iklim;
d. izin Usaha Perkebunan
dan status hak Lahan Perkebunan;
e. varietas tanaman;
f. peluang dan tantangan
pasar;
g. permintaan pasar;
h. perkiraan produksi;
i. perkiraan pasokan; dan
j. perkiraan harga.
(5) Data dan informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dilakukan pemutakhiran data dan informasi secara berkala.
(6) Data dan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dapat diakses dengan mudah dan cepat
oleh Pelaku Usaha Perkebunan dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Pasal 87
(1) Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menjamin kerahasiaan data dan
informasi Pelaku Usaha Perkebunan.
(2) Data dan informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kategori yang dikecualikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
Pasal 88
(1) Sumber daya manusia
Perkebunan meliputi aparatur, Pelaku Usaha Perkebunan, dan masyarakat
Perkebunan.
(2) Pengembangan sumber
daya manusia Perkebunan dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan,
penyuluhan, dan/atau metode pengembangan lainnya.
(3) Pengembangan sumber
daya manusia Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalisme, kemandirian, dan
dedikasi.
Pasal 89
(1) Pengembangan sumber
daya manusia Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dapat
diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya, Pelaku Usaha Perkebunan, dan masyarakat Perkebunan.
(2) Pengembangan sumber
daya manusia Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri.
Pasal 90
(1)
Pengembangan sumber daya manusia
Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilaksanakan secara
sendiri-sendiri atau bekerja sama dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan
sumber daya manusia Perkebunan diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 91
(1) Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, dan Pelaku Usaha Perkebunan
berkewajiban menyelenggarakan penyuluhan Perkebunan.
(2) Penyuluhan Perkebunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyuluh bersertifikat.
Pasal 92
Penyelenggaraan penyuluhan
Perkebunan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB XII
PEMBIAYAAN USAHA PERKEBUNAN
Pasal 93
(1) Pembiayaan Usaha
Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara.
(2) Pembiayaan
penyelenggaraan Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.
(3) Pembiayaan Usaha
Perkebunan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha Perkebunan bersumber dari
penghimpunan dana Pelaku Usaha Perkebunan, dana lembaga pembiayaan, dana
masyarakat, dan dana lain yang sah.
(4) Penghimpunan dana dari
Pelaku Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk
pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi
Perkebunan, peremajaan. Tanaman Perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana
Perkebunan.
(5) Ketentuan lebih lanjut
mengenai penghimpunan dana dari Pelaku Usaha Perkebunan, lembaga pembiayaan,
dan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 94
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya mendorong dan memfasilitasi terbentuknya
lembaga keuangan Perkebunan berdasarkan kebutuhan dan karakteristik Usaha
Perkebunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pembiayaan yang
bersumber dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat dan ayat (2) diutamakan
untuk Pekebun.
BAB XIII
PENANAMAN MODAL
Pasal 95
(1) Pemerintah Pusat
mengembangkan Usaha Perkebunan melalui penanaman modal dalam negeri dan
penanaman modal asing.
(2) Pengembangan Usaha
Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan melalui penanaman
modal dalam negeri.
(3) Besaran penanaman modal
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibatasi dengan memperhatikan
kepentingan nasional dan Pekebun.
(4) Pembatasan penanaman
modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan jenis
Tanaman Perkebunan, skala usaha, dan kondisi wilayah tertentu.
(5) Ketentuan mengenai
besaran penanaman modal asing, jenis Tanaman Perkebunan, skala usaha, dan
kondisi wilayah tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu Pembinaan
Pasal 96
(1) Pembinaan Usaha
Perkebunan dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Pembinaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perencanaan;
b. pelaksanaan Usaha
Perkebunan;
c. pengolahan dan pemasaran
Hasil Perkebunan;
d. penelitian dan
pengembangan;
e. pengembangan sumber daya
manusia;
f. pembiayaan Usaha
Perkebunan; dan
g. pemberian rekomendasi
penanaman modal.
Pasal 97
(1) Pembinaan teknis untuk
Perusahaan Perkebunan milik negara, swasta dan/atau Pekebun dilakukan oleh
Menteri.
(2) Evaluasi atas kinerja
Perusahaan Perkebunan milik negara dan/atau swasta dilaksanakan melalui
penilaian Usaha Perkebunan secara rutin dan/atau sewaktu-waktu.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pembinaan teknis dan penilaian Usaha Perkebunan diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Bagian Kedua Pengawasan
Pasal 98
(1) Pengawasan dilakukan
untuk menjamin penegakan hukum dan terselenggaranya Usaha Perkebunan.
(2) Pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara berjenjang oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan peran serta
masyarakat.
Pasal 99
(1) Pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 dilakukan melalui:
a. pelaporan dari Pelaku
Usaha Perkebunan; dan/atau
b. pemantauan dan evaluasi
terhadap pelaksanaan dan hasil Usaha Perkebunan.
(2) Dalam hal tertentu
pengawasan dapat dilakukan melalui pemeriksaan terhadap proses dan Hasil
Perkebunan.
(3) Pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan informasi publik yang diumumkan dan
dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
(4) Pemantauan dan evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengamati dan
memeriksa kesesuaian laporan dengan pelaksanaan di lapangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut
mengenai persyaratan dan tata cara pengawasan diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB XV
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 100
(1) Penyelenggaraan
Perkebunan dilaksanakan dengan melibatkan peran serta masyarakat.
(2) Peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
a. penyusunan perencanaan;
b. pengembangan kawasan;
c. penelitian dan
pengembangan;
d. pembiayaan;
e. pemberdayaan;
f. pengawasan;
g. pengembangan sistem data
dan informasi;
h. pengembangan kelembagaan;
dan/atau
i. penyusunan pedoman
pengembangan Usaha Perkebunan.
(3) Peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk pemberian
usulan, tanggapan, pengajuan keberatan, saran perbaikan, dan/atau bantuan.
Pasal 101
Ketentuan lebih lanjut
mengenai peran serta masyarakat diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB XVI
PENYIDIKAN
Pasal 102
(1) Selain penyidik pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perkebunan juga diberi
wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang tentang hukum acara pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang Perkebunan.
(2) Penyidik pegawai negeri
sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan
atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana di
bidang Perkebunan;
b. melakukan pemanggilan
terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai
saksi dalam tindak pidana di bidang Perkebunan;
c. melakukan pemeriksaan
terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
Perkebunan;
d. memeriksa tanda pengenal
seseorang yang berada dalam kawasan pengembangan Perkebunan;
e. melakukan penggeledahan
dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang Perkebunan;
f. meminta keterangan dan
bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di
bidang Perkebunan;
g. membuat dan menandatangani
berita acara;
h. menghentikan penyidikan
apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang
Perkebunan; dan
i. meminta bantuan ahli
dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dalam bidang
Perkebunan.
(3) Penyidik pegawai negeri
sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan
dan melaporkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Apabila pelaksanaan
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan penangkapan
dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan koordinasi dengan
penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Penyidik pegawai negeri
sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan basil penyidikan kepada
penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Pengangkatan pejabat
penyidik pegawai negeri sipil, tata cara, dan proses penyidikan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XVII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 103
Setiap pejabat yang
menerbitkan izin Usaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
Pasal 104
Setiap Orang yang
mengeluarkan sumber daya genetik Tanaman Perkebunan yang terancam punah
dan/atau yang dapat merugikan kepentingan nasional dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 105
Setiap Perusahaan
Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan
skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas
pabrik tertentu yang tidak memiliki izin Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 106
Menteri, gubernur dan
bupati/wali kota yang berwenang menerbitkan izin usaha perkebunan yang:
a. menerbitkan izin yang
tidak sesuai dengan peruntukkan; dan/ atau
b. menerbitkan izin yang
tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Pasal 107
Setiap Orang secara tidak
sah yang:
a. mengerjakan,
menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan;
b. mengerjakan,
menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan;
c. melakukan penebangan
tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau
d. memanen dan/atau
memungut Hasil Perkebunan; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 108
Setiap Pelaku Usaha
Perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
Pasal 109
Pelaku Usaha Perkebunan
yang tidak menerapkan:
a. analisis mengenai dampak
lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan
lingkungan hidup;
b. analisis risiko
lingkungan hidup; dan
c. pemantauan lingkungan
hidup; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
Pasal 110
Setiap Orang yang dalam
pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran Hasil Perkebunan yang melakukan:
a. pemalsuan mutu dan/atau
kemasan Hasil Perkebunan;
b. penggunaan bahan
penolong dan/atau bahan tambahan untuk pengolahan; dan/ atau
c. pencampuran Hasil
Perkebunan dengan benda atau bahan lain; yang dapat membahayakan kesehatan dan
keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
Pasal 111
Setiap Orang yang menadah
hasil Usaha Perkebunan yang diperoleh dari penjarahan dan/atau pencurian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dipidana dengan pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar
rupiah).
Pasal 112
Setiap Pelaku Usaha
Perkebunan yang mengiklankan hasil Usaha Perkebunan yang menyesatkan konsumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 113
(1) Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal
107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya
dipidana berdasarkan Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107,
Pasal 108, dan Pasal 109, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum
ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda dari masing-masing tersebut.
(2) Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal
107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh pejabat sebagai orang yang
diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan di bidang
Perkebunan, pejabat tersebut dipidana dengan pidana sebagaimana ancaman pidana
dalam Undang-Undang ini ditambah 1/3 (sepertiga).
BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 114
(1) Perusahaan Perkebunan
yang telah melakukan Usaha Perkebunan sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan
belum memiliki izin Usaha Perkebunan, dalam jangka waktu 1 (sate) tahun
terhitung sejak tanggal diundangkannya Undang-Undang ini, wajib memiliki izin
Usaha Perkebunan.
(2) Perusahaan Perkebunan
yang telah melakukan Usaha Perkebunan dan telah memiliki izin Usaha Perkebunan
yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini diberi waktu paling lama 5
(lima) tahun untuk melaksanakan penyesuaian sejak Undang-Undang ini berlaku.
(3) Untuk penanaman modal
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 yang tidak sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini, penanam modal asing wajib menyesuaikan setelah masa
berlaku hak guna usaha berakhir.
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 115
Pada saat Undang-Undang ini
mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 25 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4411) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 116
Pada saat Undang-Undang ini
mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
Perkebunan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 117
Peraturan pelaksanaan atas
Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal 118
Undang-undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembara
Negara Republik Indonesia. Disahkan Di
Jakarta, Pada Tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 17
Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
Admin/ Bambang Herto/SDM/2020
0 Komentar